Rabu, 02 Maret 2011

Menapaki Jejak Soekarno di Tanah Karo

Bougenville di halaman rumah bercat putih itu seakan menjadi saksi bisu. Di dekatnya, tampak berdiri seorang tentara Belanda memangku senjata sedang berjaga. Bung Karno, Sutan Syahrir dan H Agus Salim kelihatan tertawa. Mengapa mereka tertawa? Bukankah mereka dalam pengasingan? Entahlah. Tapi, setidaknya itulah yang tergambarkan dalam foto memoar yang tergantung di dalam rumah bersejarah itu, kini.

Di Desa Laugumba, Kecamatan Berastagai Tanah Karo tepatnya di kawasan seluas 1,5 hektar, terdapat sebuah rumah semi permanen bercat putih, beratap seng berukuran 20×30 meter, dengan seluas taman yang ditumbuhi rerumputan hijau dan bunga-bunga. Tempatnya hening, jauh dari kebisingan. Angin berhembus sejuk hampir sepanjang waktu. Dan tahukah Anda bahwa di tempat itulah Soekarno, sang pelopor kemerdekaan dengan kedua tokoh penting itu pernah diasingkan semasa Belanda melancarkan Agresi Militer yang kedua, pada 1948.
Ir Soekarno yang juga digelari sebagai “purtra sang fajar” merupakan presiden pertama Republik Indonesia (RI), H Agus Salim yang merupakan perdana menteri pertama RI, serta Sutan Syahrir menteri luar negeri RI, ketiganya pernah menginap selama 12 hari di sana. Setelah itu dibawa ke Parapat selama tiga hari dengan alasan faktor keamanan.
Fakta apa saja yang terdapat seputar pengasingan ketiga tokoh yang dianggap ektrimis oleh Belanda itu? Banyak versi yang menjelaskannya. Dari situs resmi Yayasan Bung Karno, Cindy Adams dalam bukunya “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” (2001) menuliskan, “Berastagi berarti mengalami kehidupan Bengkulu lagi. Hanya saja, ada beberapa perbedaan. Satu: mereka tidak menamakan pengasingan. Sekarang istilah ‘penjagaan untuk keselamatan’. Dua: ‘kami dijauhkan dari isteri kami’. Dan tiga: ‘kami berada di lingkungan kawat berduri dengan diawasi enam orang pakai senapan mondar-mandir secara bersambung.’”
Versi lain. Dari antara mereka yang ditangkap di Yogja (Yogyakata-red), sembilan orang ditunjuk untuk diiternir tanpa kriteria tertentu. Tidak mengherankan bahwa Soekarno dan Hatta termasuk kelompok ini. Akan tetapi Syahrir, sebagai anggota Dewan Penasehat mempunyai kedudukan yang kurang penting, juga termasuk di dalamnya. Dari para menteri mula-mula, hanya Agus Salim yang dipilih. Di samping itu, diasingkan lagi Ketua KNIP Assa’at, Sekretaris Negara Pringgodigdo, dan S Suriadarma.
Pada 23 Desember 1948 mereka naik pesawat terbang yang dikendalikan oleh seorang komandan yang ditetapkan baru boleh membuka surat perintah bersegel “sangat rahasia” kalau sudah di udara. Kemudian waktu itu sang komandan tahu bahwa mereka harus pergi ke Pulau Bangka. Lalu ketika mendarat di ibukota Bangka, Pangkalpinang, Hatta bersama tiga orang tahanan lainnya disuruh meninggalkan pesawat. Mereka dipenjarakan di sana. Tiga orang yang masih tersisa, Soekarno, Syharir dan Agus Salim diterbangkan ke Medan. Dari sana mereka naik kendaraan ke Berastagi, sebuah kota di pegunungan kira-kira 60 kilometer dari Kota Medan.
Setelah ketiganya di Berastagi, tenyata di sana timbul masalah penjagaan, mereka bertiga lalu diasingkan ke tempat lain. Pada 1 Januari 1949 mereka dipindahkan ke Parapat, sebuah tempat liburan yang tidak jauh dari Berastagi. Di sana, mereka ditempatkan di sebuah rumah peristirahatan mewah yang lebih mudah dijaga. Demikian pula Lambert Giebels dalam bukunya “Soekarno Biografi 1901-1950” (2001) melukiskan peristiwa pengasingan Soekarno ke dari Berastagi ke Parapat.
Sedang, DR Asvi Warman Adam (sejarahwan LIPI) dalam keterangannya pada tahun 2005 menjelaskan, Bung Karno tak lama di Berastagi karena alasan keamanan. Tempat mereka menginap dianggap pihak Belanda tidak aman karena bisa diserang oleh Laskar Rakyat. Saat itu, Tanah Karo dikenal sebagai poros perjuangan rakyat Sumatra Utara untuk menegakkan kemerdekaan di Republik Indonesia. Mereka pun secepatnya dipindahkan ke Parapat (di pinggir Danau Toba) pada 1 Januari 1949. Dan pada 7 Februari, dari Parapat mereka dibawa ke Pulau Bangka. Mereka berkupul di sana. Lalu pada 6 Juli 1949 Bung Karno kembali ke Yogyakarta.
Rumah putih warisan kolonialis

“Kawan! Pusara adalah lambang kesinambungan hidup! Mati! Dalam perjuangan. Bahana kekal panggilan Bung Karno dari Blitar sampai Tanah Karo”

(Sitor Situmorang)
Demikian Sitor Situmorang, sastrawan angkatan 45 itu menuliskan seuntai kalimat tanda penghormatan pada “sang proklamator” pada sepetak batu marmer di Monumen Bung Karno, Laugamba Berastagi. Saksi bisu—pohon berbunga violet—itu masih tumbuh subur di sana memesona taman itu. Kicau burung-burung terdengar di balik pepohonan menambahi ketenangan suasana.
Alasan inikah yang membuat pemerintah kolonial Belanda membangun sebuah rumah peristirahatan, yang kelak menjadi rumah tawanan sementara bagi Soekarno dan dua tokoh penting itu di sana?
S Sinaga, sang penjaga bekas rumah tahanan yang selama ini sering digunakan sebagai mess (tempat peristirahatan) bagi pejabat Pemerintahan Sumatra Utara itu, menjelaskan bahwa memang rumah itu dulunya adalah kediaman khusus diperuntukkan bagi jenderal-jenderal Belanda selama melaksanakan tugasnya di daerah kolonial kawasan Tanah Karo.
Tak jelas kapan rumah ini dibangun, yang pasti sekitar tahun 1800-an, jelas Sinaga, yang merupakan anak dari J Sinaga, sang ayah yang pernah bekerja sebagai juru masak Belanda (koki) di rumah tersebut.
Hebatnya, meski setua itu, tampak kondisi bangunan dan perabotan yang ada di dalamnya masih tampak kuat dan awet. Soekarno ditempatkan sendiri dalam satu kamar. Di ruangan tengah antara kamar tidur Soekarno dengan kamar tidur Agus Salim dan Sutan Syahrir terdapat satu set meja dan kursi.
Ada juga lukisan tergantung di sana, sebuah lukisan artistik berobjek bunga, karya F Van Vreeland dan lukian sebuah ladang yang asri dan subur karya Jan Sleyter. Di dalam ruangan terasa adem, tenang. Nah, di ruang tamu akan didapati dua buah foto yang tergantung di dinding ruang tamu, yang masing-masing menggambarkan bahwa Seoekarno, Agus Salim dan Sutan Syahrir pernah singgah di tempat ini.
Kedua foto merupakan hasil reproduksi Sem Anthonius Meliala. Sedang foto aslinya, kata Sinaga, berada di tangan seorang warga negara Belanda, yang pada 2001pernah dipinjamkan kepada Sem untuk dicetak ulang.
“Inilah salah satu bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Soekarno memang pernah diasingkan di Tanah Karo,” katanya sambil menunjukkan bougenville yang pohonnya masih tumbuh pendek dan di depannya tampak seorang Belanda memangku senjata berlars panjang sedang mengawasi mereka bertiga. Dan dalam foto tersebut, ketiganya terlihat sedang tertawa. Seokarno mengenakan pakaian kebesarannya, Sutan Syahrir mengenakan kemeja dan rompi, sedang Agus Salim tersenyum sambil memegang tongkatnya.
“Soekarno, Agus Salim dan Sutan Sharir diperlakukan secara terhormat. Mereka dianggap sebagai tahanan politik terhormat oleh Belanda waktu itu,” ujar Sinaga lalu kemudian menunjukkan kamar Bung Karno, dilengkapi dengan dua buah tempat tidur, lemari dan kamar mandi terpisah dari ruangan. Semuanya terlihat masih terawat dan kuat.
Di luar, tepat di tengah halaman rumah, berdiri sebuah monumen perunggu (replika) Soekarno sedang duduk menyilangkan kaki kanannya. Dengan dua buah lampu sorot di kiri dan di kanan, pahatan buah tangan Djoni Basri bangunan yang diberi nama Monumen Bung Karno ini diresmikan pada 22 Desember 2005 oleh Gubernur Sumatra Utara (waktu itu T Rizal Nurdin), dan Ketua Yayasan Bung Karno Guruh Soekarnoputra.
Awalnya, pemugaran rumah tahanan Bung Karno yang dimulai April 2001 (menjelang 100 tahun Bung Karno) akan dilengkapi dengan patung Bung Karno setinggi 7 meter, menggambarkan Bung Karno sedang menunjuk ke depan dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menjepit tongkat komando. Akan tetapi, rencana itu berobah. “Guruh mengatakan kesan patung demikian rupa diragukan akan menimbukan opini publik yang beragam tentang Bung Karno,” tutur Sinaga.