Kamis, 09 Desember 2010

Geliat Bisnis Panggang Karo

Tinggal di komunitas yang plural dan sekaligus minoritas sering kali memancing batinku untuk bertanya kepada orang yang bukan kalak Karo. Apakah yang mereka ketahui tentang orang Karo. Ah, ini memang pertanyaan yang beridiologi egosentris. Tapi tak apalah, yang penting aku dapat memuaskan perasaanku dari hasil riset amatiran tersebut. Hasilnya memang seperti yang telah ku duga. Yang lekat di kepala mereka tentang orang Karo adalah : panggang Karo, jokkor Karo, Oukup. Nah itu dia, sekali-sekali ada yang tau tentang terites alias pagit-pagit. Yang terakhir ini orang sering memberi kesan negatif, seolah-olah orang Karo suka dengan produk ending process tersebut.
Antonius Tanan, salah seorang direksi Group Ciputra pernah mengangkat BPK nama keren panggang Karo sabagai salah satu contoh kasus dalam seminar kewirausahaan di kalangan PAKSU (Persekutuan Alumni Sumatera Utara, suatu perkumpulan alumni beberapa universitas di Sumut). Bahkan tidak sekedar di seminar, tapi hal ini juga dituliskan dalam bukunya tentang kewirausahaan.
Menurut catatan Ir. Perdana Ginting, tahun 1972 di kota Medan BPK baru ada satu buah benama Sar Kadobang Cit terletak di Simpang Kuala milik seorang tokoh adat Karo bernama Bengkel Tarigan. Jadi bila saja dirunut berdasarkan tahun itu bisnis ini telah berusia lebih 30 tahun. Namun tampilan kebanyakan BPK tetap saja ala kadarnya, terutama mengenai kebersihan yang masih kurang. Padahal di sepanjang jalan Jamin Ginting ada puluhan bisnis BPK dan mungkin mencapai ratusan buah ‘restoran’ BPK di kota-kota di Sumut dan kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Tangerang, Bogor, Bekasi dst.
Ini merupakan suatu bisnis yang menggiurkan karena bukan saja dapat menyerap banyak tenaga kerja tapi juga memungkinkan terciptanya suatu lingkup bisnis dari hulu hingga hilir. Bayangkan berapa banyak tenaga akan diserap disektor peternakan, perdagangan, penyelia pakan ternak dan seterusnya. Sekali lagi, menurut Perdana Ginting dari sekitar 20 rumah makan BPK membutuhkan 800 kilo daging. Dengan harga Rp 6.500 per porsi berarti perputaran uang bisnis ini sekitar Rp 42.000.000 sehari. Tentu hal ini masih dapat dikembangkan menjadi lebih besar dengan manajemen yang profesional, sehingga seorang gubernur yang ‘tidak haram’ merasa nyaman makan di sana. Atau dengan sistem catering, kiloan, pesan-antar atau mungkin dibuat dengan sistem waralaba. Anda tertarik investasi di sektor ini? Ah, ngomong-ngomong cerita soal yang satu ini, perut saya jadi lapar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar